PERAN LEMBAGA PENGAWAS EKSTERNAL TERHADAP HAKIM Hermansyah
A. Pendahuluan
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjalankan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu substansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah adanya Komisi Yudisial.
Komisi Yudisial adalah lembaga pengawas eksternal terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman oleh badan peradilan dan hakim. Menurut A. Ahsin Thohari, argumen utama bagi terwujudnya (raison d’atre) Komisi Yudisial di dalam suatu Negara hukum, adalah: (1) komisi Yudisial dibentuk agar dapat melakukan monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal, (2) komisi Yudisial menjadi perantara (mediator) atau penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) dan kekuasaan kehakiman (judicial power) yang tujuan utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan apapun juga khususnya kekuasaan pemerintah, (3) dengan adanya Komisi Yuidisial, tingkat efisiensi dan efektivitas kekuasaan kehakiman (judicial power) akan semakin tinggi dalam banyak hal, baik yang menyangkut rekruitmen dan monitoring hakim agung maupun pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman, (4) terjaganya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus (Komisi Yudisial), dan (5) dengan adanya Komisi Yudisial, kemandirian kekuasaan kehakiman (judicial power) dapat terus terjaga, karena politisasi terhadap perekrutan hakim agung dapat diminimalisasi dengan adanya Komisi Yudisial yang bukan merupakan lembaga politik, sehingga diasumsikan tidak mempunyai kepentingan politik.[1]
Beranjak dari argumen-argumen di atas, jelaslah bahwa Komisi Yudisial adalah Lembaga Negara yang bersifat mandiri dan mempunyai peranan yang sangat penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui kewenangannya mengusulkan pengangkatan hakim agung serta melakukan pengawasan (pengawasan eksternal) terhadap hakim agung dan hakim yang transparan dan partisipatif guna menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Pada prinsipnya ketentuan Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak saja merupakan landasan hukum terhadap kehadiran Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, tetapi juga menjadi landasan hukum yang kuat bagi reformasi bidang hukum dengan memberikan kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk mewujudkan checks and balances, dalam arti walaupun Komisi Yudisial bukan pelaku kekuasaan kehakiman namun fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, yaitu fungsi pengawasan. Jadi jelaslah bahwa Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang salah satu wewenangnya adalah melakukan pengawasan terhadap hakim, yang meliputi hakim agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi.
B. Kedudukan, Wewenang dan Tugas Komisi Yudisial Republik Indonesia
Dalam posisinya sebagai lembaga negara yang baru, perlu dan untuk tujuan memberi informasi kepada masyarakat kiranya dalam tulisan ini dikemukakan juga secara singkat mengenai kedudukan, wewenang dan tugas Komisi Yudisial.
Mengenai kedudukan dari Komisi Yudisial dapat kita lihat dari ketentuan Pasal 1 Butir ke-1 Undang Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang menyatakan bahwa “Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Ketentuan ini menegaskan bahwa kedudukan Komisi Yudisial adalah sebagai lembaga negara yang keberadaannya bersifat konstitusional.
Berkaitan dengan itu, menurut Pasal 2 Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa “Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lain”. Kemandirian Komisi Yudisial itu dijamin oleh ketentuan Pasal 24B Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa: “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”.
Selanjutnya mengenai wewenang dan tugas dari Komisi Yudisial Republik Indonesia dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 24A Ayat (3) dan Pasal 24B Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diimplementasikan dalam Pasal 13 Undang Undang No. 22 Tahun 2004 pada pokoknya wewenang dari Komisi Yudisial adalah:
1. Mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden; dan
2. Mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Dari apa yang telah diuraikan di atas, maka jelaslah mengenai kedudukan, wewenang dan tugas dari Komisi Yudisial Republik Indonesia sebagai lembaga negara yang mandiri yang salah satu kewenangannya adalah melakukan fungsi pengawasan terhadap hakim agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dan hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
C. Peran Lembaga Pengawas Eksternal terhadap Hakim.
Bahwa praktek penyalahgunaan wewenang di badan peradilan cenderung menguat dan merusak seluruh sendi peradilan, mengakibatkan menurunnya kewibawaan dan kepercayaan badan peradilan terhadap masyarakat dan dunia internasional. Keadaan badan peradilan yang demikian tidak dapat dibiarkan terus berlangsung, perlu dilakukan upaya-upaya yang luar biasa yang berorientasi kepada terciptanya badan peradilan dan hakim yang sungguh-sungguh dapat menjamin masyarakat dan pencari keadilan memperoleh keadilan, dan diperlakukan secara adil dalam proses pengadilan sesuai peraturan perundang-undangan.
Disadari bahwa terjadinya praktek penyalahgunaan wewenang di lembaga peradilan sebagaimana dikemukakan di atas, disebabkan oleh banyak faktor antara lain dan terutama adalah tidak efektifnya pengawasan internal (fungsional) yang ada di badan peradilan. Sehingga tidak terbantahkan, bahwa pembentukan Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal didasarkan pada lemahnya pengawasan internal tersebut. Menurut Mas Achmad Santosa, bahwa lemahnya pengawasan internal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) kualitas dan integritas pengawas yang tidak memadai, (2) proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan, (3) belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya (ketiadaan akses), (4) semangat membela sesama korps (esprit de corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan perbuatan. Setiap upaya untuk memperbaiki suatu kondisi yang buruk pasti akan mendapat reaksi dari pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi yang buruk itu, dan (5) tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga penegak hukum untuk menindak-lanjuti hasil pengawasan.[2]
Beranjak dari pendapat di atas, menunjukkan bahwa tidak efektifnya fungsi pengawasan internal badan peradilan pada dasarnya disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu adanya semangat membela sesama korps (esprit de corps) dan tidak adanya kehendak yang sungguh-sungguh dari pimpinan badan peradilan untuk menindaklanjuti hasil pengawasan internal terhadap hakim, sehingga membuka peluang bagi hakim yang terbukti melakukan pelanggaran hukum dan kode etik untuk mendapat “pengampunan” dari pimpinan badan peradilan yang bersangkutan, sehingga tidak dikenakan sanksi sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, kehadiran suatu lembaga khusus yang menjalankan fungsi pengawasan eksternal terhadap hakim.
Lembaga khusus tersebut adalah Komisi Yudisial. Sebagai lembaga negara yang lahir dari tuntutan reformasi (reformasi hukum) dan berwenang untuk melakukan reformasi peradilan, terutama dalam posisinya sebagai lembaga pengawas eksternal, tidak mungkin Lembaga Negara ini membiarkan terus terjadinya praktek penyalahgunaan wewenang di badan peradilan. Jadi, apabila dipahami spirit dan orientasinya tidak berlebihan bahkan sejalan dengan tuntutan konstitusi dan semangat reformasi peradilan apabila Komisi Yudisial melakukan langkah-langkah dan strategi yang progresif dan proaktif dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim seperti menyusun dan mengusulkan draft Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu) tentang Perubahan Atas Undang Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial kepada Presiden melalui Menteri Hukum dan HAM. Draft Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang tersebut semata-mata bertujuan untuk mengatasi berbagai penyalahgunaan wewenang badan peradilan, memulihkan kewibawaan badan peradilan, serta memulihkan kepercayaan masyaratakat dan pencari keadilan terhadap hakim sebagai penyelenggara utama fungsi pengadilan.
Semua pihak, terutama para pihak yang terlibat dalam upaya penegakan hukum dan pengawal reformasi hukum (reformasi peradilan) harus memahami dengan benar, bahwa Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang secara hukum dan konstitusional diberikan amanat dan mempunyai tanggungjawab untuk memulihkan kewibawaan dan kepercayaan masyarakat terhadap badan peradilan dan hakim melalui fungsi pengawasan (pengawas eksternal) yang dimilikinya. Dalam kerangka itu, sepatutnya semua pihak yang mempunyai niat yang tulus dalam upaya penegakan hukum dan keadilan, terutama dalam rangka reformasi peradilan mendukung setiap upaya Komisi Yudisial, agar dalam pelaksanaan wewenangnya dapat efektif.
Mengingat peranan penting dari pengadilan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, maka terciptanya pengadilan yang merdeka, netral (tidak berpihak), kompeten dan berwibawa yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan merupakan conditio sine qua non atau persyaratan mutlak dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum. Hanya pengadilan yang memiliki semua kriteria tersebut yang dapat menjamin terwujudnya kepastian hukum dan keadilan.
Sebagai pelaku utama badan peradilan, maka posisi dan peran hakim agung dan hakim menjadi sangat penting, terlebih dengan segala kewenangan yang dimilikinya sangat memerlukan pengawasan yang efektif. Melalui putusannya, seorang hakim misalnya: dapat mengalihkan hak kepemilikan seseorang, mencabut kebebasan warga negara, menyatakan tidak sah tindakan sewenang-wenang pemerintah terhadap masyarakat, sampai dengan memerintahkan penghilangan hak hidup seseorang, dan lain-lain. Oleh karena itu, wewenang dan tugas yang dimiliki oleh hakim harus dilaksanakan dalam rangka menegakkan hukum, kebenaran, dan keadilan sesuai kode etik tanpa pandang bulu dengan tidak membeda-bedakan orang seperti diatur dalam lafal sumpah seorang hakim, di mana setiap orang sama kedudukannya di depan hukum (equality before the law) dan hakim. Kewenangan hakim yang sangat besar itu menuntut tanggungjawab yang tinggi, sehingga putusan pengadilan yang diucapkan dengan irah-irah “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mengandung arti bahwa kewajiban menegakkan kebenaran dan keadilan itu wajib dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada semua manusia, dan secara vertikal dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Untuk dapat melaksanakan semua fungsinya secara efektif, hakim tentu membutuhkan kepercayaan dari masyarakat dan pencari keadilan. Hanya dengan adanya kepercayaan itulah pengadilan dapat menyelesaikan perkara melalui jalur hukum dengan baik. Kepercayaan terhadap lembaga peradilan tidaklah muncul dengan sendirinya, tetapi harus melalui berbagai pembuktian bahwa badan peradilan dan hakim sungguh-sungguh menjunjung tinggi hukum serta menegakkan kebenaran dan keadilan secara benar dan konsisten. Oleh karenanya, dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan itu, maka hakim sebagai pelaksana utama dari fungsi pengadilan, harus mempunyai komiten, tekad, dan semangat dalam membersihkan badan peradilan dari segala bentuk penyalahgunaan wewenang dalam rangka memulihkan kewibawaan badan peradilan dan upaya memulihkan kepercayaan masyarakat kepada hakim. Salah satu hal penting yang disorot masyarakat untuk mempercayai hakim, adalah perilaku dari hakim yang bersangkutan, baik dalam menjalankan tugas yudisialnya maupun dalam kesehariannya. Karena itu setiap hakim harus menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Bahwa fungsi pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial terhadap hakim agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi meliputi pengawasan yang bersifat preventif sampai dengan pengawasan yang bersifat represif sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diimplementasikan dalam Pasal 13 Huruf b, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23 Undang-undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Mengenai fungsi pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas, diperkuat juga oleh ketentuan Pasal 34 ayat (3) Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan Pasal 34 Ayat (3) menentukan bahwa: ”Dalam rangka mkehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam undang-undang”. Hal ini sekaligus mempertegas eksistensi dan fungsi Komisi Yudisial Republik Indonesia sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap hakim agung dan hakim dalam melaksanakan tugas yudisialnya.
Pengawasan eksternal terhadap hakim oleh Komisi Yudisial memegang peranan yang sangat penting dan bertujuan agar para hakim dalam menjalankan wewenang dan tugasnya sungguh-sungguh didasarkan dan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, kebenaran, dan rasa keadilan masyarakat serta menjunjung tinggi kode etik profesi hakim. Apabila hakim menjalankan wewenang dan tugasnya dengan baik dan benar, maka bukan hanya kepastian hukum dan keadilan yang dapat diwujudkan, tetapi juga kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim pun terpelihara.
Oleh karena itu, sifat hakim yang dilambangkan dalam kartika, cakra, candra, sari, dan tirta merupakan sifat-sifat yang harus ditumbuhkembangkan dan diwujudkan secara nyata dalam tindakan dan perilaku hakim agar senantiasa berlandaskan pada prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, adil, bijaksana dan berwibawa, berbudi luhur, serta menjunjung tinggi kejujuran. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah landasan dari semua prinsip-prinsip dalam pedoman perilaku hakim. Ketaqwaan berarti percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan percayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa ini mampu mendorong hakim untuk berperilaku baik dan penuh tanggung jawab sesuai ajaran dan tuntunan agama dan kepercayaan yang dianutnya.
Disadari bahwa hakim dalam melaksanakan wewenang dan tugas tidak terlepas dari berbagai kepentingan dari berbagai pihak. Keadaan yang demikian itu, tentu rentan dan dapat menimbulkan conflict of interest bagi pribadi hakim yang bersangkutan, sehingga perbuatan atau perilaku hakim yang demikian itu dapat menodai kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, misalnya seorang hakim menunjukkan sikap dan perilaku yang memihak kepada salah satu pihak yang bersengketa dalam menjalankan tugas yudisialnya. Dalam menghadapi keadaan yang demikian hakim harus dan dituntut untuk memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, dan profesional dalam menjalankan wewenang dan tugasnya.
Oleh karena itu, keberadaan Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap hakim, serta dimasukkan dalam struktur kekuasaan kehakiman Indonesia adalah agar warga masyarakat di luar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja, dan kemungkinan pemberhentian hakim sangatlah penting. Hal ini maksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan kehormatan dan keluhuran martabatnya, kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bersifat imparsial (independent and impartial judiciary) diharapkan dapat diwujudkan, yang sekaligus diimbangi oleh prinsip akuntabilitas kekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum maupun segi etika. Untuk itu diperlukan suatu institusi pengawasan yang independen terhadap para hakim, yang dibentuk di luar struktur Mahkamah Agung. Melalui lembaga pengawas eksternal tersebut aspirasi masyarakat di luar struktur resmi dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan para hakim agung serta dilibatkan pula dalam proses penilaian terhadap etika kerja dan kemungkinan pemberhentian para hakim karena pelanggaran terhadap etika.
Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan hakim, Komisi Yudisial akan memperhatikan apakah putusan yang dibuat sesuai dengan kehormatan hakim dan rasa keadilan yang ada dalam masyarakat. Sedangkan dalam menjaga dan menegakkan keluhuran martabat hakim Komisi Yudisial harus mengawasi apakah profesi hakim itu telah dijalankan sesuai etika profesi dan memperoleh pengakuan masyarakat, serta mengawasi dan menjaga agar para hakim tetap dalam hakekat kemanusiaannya, berhati nurani, sekaligus memelihara harga dirinya, dengan tidak melakukan perbuatan tercela.
Sejalan dengan fungsi pengawasan oleh Komisi Yudisial itu, hakim dituntut untuk menjunjung tinggi kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman. Kehormatan adalah kemulian atau nama baik yang senantiasa harus dijaga dan dipertahankan dengan sebaik-baiknya oleh para Hakim dalam menjalankan fungsi pengadilan. Kehormatan hakim itu terutama terlihat pada putusan yang dibuatnya, dan pertimbangan yang melandasi, atau keseluruhan proses pengambilan keputusan yang bukan saja berlandaskan peraturan perundang-undangan, tetapi juga rasa keadilan yang timbul dari masyarakat. Sebagaimana halnya kehormatan, keluhuran martabat yang merupakan tingkat harkat kemanusiaan atau harga diri yang mulia yang sepatutnya tidak hanya dimiliki, tetapi harus dijaga dan dipertahankan oleh hakim melalui sikap tindak atau perilaku yang berbudi pekerti luhur. Hanya dengan sikap tindak atau perilaku yang berbudi pekerti luhur itulah kehormatan dan keluhuran martabat Hakim dapat dijaga dan ditegakkan.
Sedangkan keluhuran menunjukkan bahwa profesi hakim adalah suatu kemuliaan, atau profesi hakim adalah suatu officium nobile. Bila suatu profesi terdiri dari aspek-aspek (1) organisasi profesi yang solid, (2) standar profesi, (3) etika profesi, (4) pengakuan masyarakat, dan (5) latar belakang pendidikan formal, maka suatu profesi officium nobile terutama berlandaskan etika profesi dan pengakuan masyarakat. Sedangkan martabat menunjukkan tingkat hakekat kemanusiaan, sekaligus harga diri.
Selain tidak menodai kehormatan dan keluhuran martabatnya, maka seorang hakim harus menunjukkan perilaku berbudi pekerti luhur. Perilaku dapat diartikan sebagai tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. Perilaku hakim dapat menimbulkan kepercayaan, tetapi juga menyebabkan ketidak-percayaan masyarakat kepada putusan pengadilan. Ketidakpuasan masyarakat terhadap putusan pengadilan sebagian disebabkan oleh kenyataan bahwa putusan hakim sering dianggap tidak adil, kontroversial, bahkan tidak dapat dieksekusi secara hukum. Keadaan ini menuntut hakim harus sungguh-sungguh memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, dan profesional dalam rangka membangun dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat dari masyarakat. Alat hukum yang terdapat dalam hukum acara guna memperoleh keadilan dan kebenaran, dalam prakteknya telah disalahgunakan untuk menakuti pihak lawan, khususnya mereka yang tidak memiliki waktu dan uang untuk mengikuti proses litigasi yang panjang. Sungguh beralasan apabila kurangnya kepatuhan pada etika profesinyapun diarahkan kepada hakim. Jadi sangatlah beralasan apabila hakim harus mempunyai budi pekerja yang luhur dalam keseharian maupun dalam menjalankan tugas yudisialnya. Budi pekerti luhur ini adalah sikap dan perilaku yang didasarkan kepada kematangan jiwa yang diselaraskan dengan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat. Oleh karena itu, orang berbudi pekerti luhur dalam bertindak dan berperilaku menggunakan perasaan, pemikiran, dan dasar pertimbangan yang jelas, dalam arti ada dasar yang mengatur dan berdasarkan akal sehat. Ini berarti bahwa bukan hanya kehormatan dan keluhuran martabat itu yang harus dijaga dan ditegakkan, tetapi juga perilaku dari Hakim.
Setiap profesi termasuk hakim menggunakan sistem etika terutama untuk menyediakan struktur yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan menyediakan garis batas tata nilai yang dapat dijadikan pedoman para profesional untuk menyelesaikan dilema etika yang dihadapi saat menjalankan fungsi pengembanan profesinya sehari-hari. Etika merupakan norma-norma yang dianut oleh kelompok, golongan atau masyarakat tertentu mengenai perilaku yang baik dan buruk. Lebih dari itu, etika adalah refleksi kritis dan rasional mengenai norma-norma yang terwujud dalam perilaku hidup manusia, baik secara pribadi atau kelompok. Sistem etika bagi profesional dirumuskan secara konkret dalam suatu kode etik profesi yang secara harfiah berarti etika yang ditulis. Kode etik ibarat kompas yang memberikan atau menunjukkan arah bagi suatu profesi dan sekaligus menjamin mutu moral profesi itu dalam masyarakat. Tujuan kode etik ini adalah menjunjung tinggi martabat profesi atau seperangkat kaedah perilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam mengemban suatu profesi.
Kode etik profesi merupakan inti yang melekat pada suatu profesi, ialah kode perilaku yang memuat nilai etika dan moral. Hakim dituntut untuk profesional dan menjunjung etika profesi. Profesionalisme tanpa etika menjadikannya “bebas sayap” (vluegel vrij) dalam arti tanpa kendali dan tanpa pengarahan. Sebaliknya, etika tanpa profesionalisme menjadikannya “lumpuh sayap” (vluegel lam) dalam arti tidak maju bahkan tidak tegak. Pelanggaran atas suatu kode etik profesi tidaklah terbatas sebagai masalah internal lembaga peradilan, tetapi juga merupakan masalah masyarakat. Dan pada kenyataannya kode etik profesi dan pengawasan internal pada hakim tidak mampu untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim tersebut.
Beranjak dari apa yang diuraikan, jelaslah bahwa Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap hakim mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam upaya mendorong dan menciptakan hakim untuk selalu menjunjung tinggi hukum, kebenaran, keadilan, dan kode etik dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya. Untuk itu tentu saja para hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, dan profesional, sehingga kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim terjaga dan sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat dan pencari keadilan.
D. Penutup
Komisi Yudisial sebagai lembaga negara yang mandiri berwenang mengawasi (lembaga pengawas eksternal) terhadap hakim yaitu hakim agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik, yang bersifat preventif sampai dengan yang bersifat represif bertujuan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Kehadiran Komisi Yudisial antara lain disebabkan tidak efektifnya pengawasan internal yang ada di badan peradilan dan tidak adanya kehendak yang kuat dari pimpinan badan peradilan untuk menindaklanjuti hasil pengawasan internal.
Kehadiran Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal sangat penting dan menuntut hakim untuk selalu menjunjung tinggi hukum, kebenaran, integritas, kode etik, dan keadilan dalam menjalankan wewenang dan tugasnya sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, demi terpeliharanya kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Daftar Bacaan
A. Ahsin Thohari, Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan, hlm. XIII – XIV.
Bappenas, Naskah Kajian Pemetaan Pembangunan Hukum di Indonesia, Tahun 2006.
Chatamarrasjid Ais, Bahan Sosialisasi Komisi Yudisial RI, Tahun 2005.
-------------------------, Komisi Yudisial Mewujudkan Checks and Balances Untuk Menghindari Tirani Yudikatif, Makalah disampaikan dalam Seminar Peran dan Fungsi Komisi Yudisial, di Universitas Negeri Bengkulu, 4 Oktober 2005.
--------------------- dan Hermansyah, Komisi Yudisial dan Pengawasan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial, Makalah disampaikan dalam Pertemuan Nasional dalam rangka konsultasi APINDO dengan jajaran organisasi APINDO di Jakarta, 6-7 Desemnber 2005.
----------------------, Eksistensi dan Fungsi Komisi Yudisial dalam Reformasi Lembaga Peradilan, Makalah disampaikan dalam Seminar Kajian Pemetaan Pembangunan Struktur Hukum di Indonesia (Fokus Pada Pembangunan Lembaga Peradilan), di Bappenas, Jakarta, 6 Februari 2006.
C.F.G. Sunaryati Hartono, Beberapa Catatan terhadap Kajian Pemetaan Pembangunan Struktur Hukum, Makalah disampaikan dalam Seminar Kajian Pemetaan Pembangunan Struktur Hukum di Indonesia (Fokus Pada Pembangunan Lembaga Peradilan), Bappenas, tanggal 6 Februari 2006.
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum : Paradigma, Metode dan Masalahnya, Elsam dan HuMa, Jakarta, Tahun 2002.
Syamsuhadi Irsyad, Tanggapan Atas Kajian Pemetaan Pembangunan Struktur Hukum di Indonesia (Fokus pada Pembangunan Lembaga Peradilan), Makalah disampaikan dalam Seminar Kajian Pemetaan Pembangunan Struktur Hukum di Indonesia (Fokus Pada Pembangunan Lembaga Peradilan), Bappenas, tanggal 6 Februari 2006.
Yosep Suardi Sabda, Membuat Pembangunan Hukum Menjadi Jelas dan Terukur, Makalah disampaikan dalam Seminar Kajian Pemetaan Pembangunan Struktur Hukum di Indonesia (Fokus Pada Pembangunan Lembaga Peradilan), Bappenas, tanggal 6 Februari 2006.
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
0 komentar:
Posting Komentar