Mbah Hamid Pasuruan
Kyai Abdul Hamid bin Abdullah bin Umar Basyaiban BaAlawi dilahirkan di Lasem, Rembang, Jawa Tengah tahun 1333.H, dilahirkan dengan nama kecil “Abdul Mu`thi”. sejak kecil beliau dibimbing oleh ayahanda beliau, setiap hari beliau mengaji di mushola yang terletak persis di samping rumah beliau.
Naik Haji
suatu ketika KH.Siddiq singgah di Lasem dan langsung mengajak Kyai Hamid menunaikan ibadah haji dan ziarah ke makam Rasululloh SAW. Sepulang dari Makkah pada usia 15 tahun beliau dipondokan ke pondok pesantren Tremas, pacitan.
mondok di tremas
pada periode Tremas inilah potensi spiritual kyai Hamid mulai terasa. kecemerlangan spiritualnya membuat kagum banyak pihak, hingga tidak sedikit kawan beliau menjadkan kyai Hamid sebagai guru, dan mengikuti jejak beliau ke Pasuruan.
menikah di pasuruan
kyai Hamid dinikahkan ddegan putri kyai ahmad qusairy kebonsari pasuruan. dan sejak itu beliau tinggal dan menetap di Pasuruan. kehidupan kyai Hamid teramat sederhana, beliau bekerja sebagai guru ngaji dan juga sebagai belantik. pekerjaan belantik itu di daerah bangil dengan jarak kurang lebih 15 km sebelah barat Pasuruan. setiap hari beliau ke sana dnegan menggunakan sepeda, beliau menjalani itu semua dengan tabah. sampai sampai beliau hanya mempunyai satu sarung yang sudah menerawang sangking tuanya sehingga setiap sholat beliau menutupinya dengan sorban.
berguru pada habib ja`far
periode pasuruan adalah periode emas dari perjalanan spiritual beliau. disinilah beliau mulai dan mungkin mengasah diri dengan pancaran ruhhul ilahiyah yang begitu cemerlang. di Pasuruan ini pula beliau semakin mendekatkan diri pada kalangan ulama dan habaib kususnya dengan habib ja'far bin syaikhon assegaf pasuruan yang merupakan guru utama beliau. bersama habib ja`far inilah potensi spiritual beliau semakin terasa, hal ini diakui oleh habib ja`far bahwa dibanding murid yang lain, kyai hamid memiliki keunggulan tersendiri yang sangat sulit dicapai oleh orang lain. kekaguman dan kepercayaan habib ja`far diwujudkan dengan dipercayakanya Kyai Hamid untuk menjadi imam sholat Maghrib dan isya` di kediaman habib ja`far, meski demikian kyai hamid tetap tidak mengurangi takzim beliau kepada sang guru, begitu merendahnya kyai hamid dihadapan habib ja`far ibarat penda ditangan pemiliknya, Pena tidak akan bergerak jika tidak digerakan pemiliknya, demikian juga kyai hamid keberadaanya seakan hilang dan menyatu dengan habib ja`far. keunggulan kyai hamid di bidang keilmuan mungkin dapat diungguli oleh orang lain, namun dua hal menjadi kelebihan tesendiri bagi kyai hamid adalah sifat zuhud dan tawadhu yang jarang dimiliki oleh orang lain. bahkan ketika habib ja`far wafat ketika ziaroh ke makam habib ja`far kyai hamid sangking takzimnya dan tawadu nya tidak berani duduk lurus pada posisi kepala tapi selalu duduk pada posisi kaki habib ja`far. inilah sifat tawaddhu beliau yang sangat tinggi.
Seperti umumnya anak cerdas, Hamid pada waktu kecil nakalnya luar biasa, sehingga dia yang waktu kecil dipanggil Dul ini panggilannya dipelesetkan menjadi Bedudul. Kenakalannya ini dibawa sampai menginjak usia remaja, dimana dia sering terlibat perkelahian dengan orang China yang pada waktu itu dipihak para penjajah. Pernah suatu saat dia ajengkel melihat lagak orang China yang sombong, kemudian orang China tersebut ditempeleng sampai klenger. Karena dia dicari-cari orang China kemudian oleh ayahnya dipondokkan ke Termas Pacitan. Sewaktu dia belajar di Termas sering bermain ke rumah kakeknya, Kiai Shiddiq di Jember dan kadang-kadang bertandang ke rumah pamannya Kiai Ahmad Qusyairi di Pasuruan. Sehingga, sebelum dia pindah ke Pasuruan, dia sudah tidak asing lagi bagi masyarakat disana.
Setelah di pesantren Termas dipercaya sebagai lurah, Kiai Hamid sudah mulai menampakkan perubahan sikapnya, amaliyahnya mulai instensif dan konon dia suka berkhalwat disebuah gunung dekat pesantren untuk membaca wirid. Semakin lama, dia semakin jarang keluar kamar. Sehari-hari di kamar saja, enath apa yang diamalkannya. Sampai kawan-kawannya menggoda . Pintu kamarnya dikunci dari luar. Tapi, anehnya dia bisa keluar masuk.
Tawadlu’ dan Dermawan.
Kiai Hamid yang kemudian diambil menantu Kiai Qusyairi adalah sosok yang halus pembawaannya. Meski sebagai orang alim dan menjadi menantu kiai, beliau tetap tawadlu’ (rendah hati). Suaranya pelan dan sangat pelan. Ketika apa saja apelan, entah mengajar, membaca kitab, berdzikir, shalat amaupun bercakap-cakap dengan tamu. Kelembutan suaranya sama persis dengan kelembutan hatinya. Beliau mudah sekali menangis. Apabila ada anaknya yang membandel dan akan memarahinya, beliau menangis dulu, akhirnya tidak jadi marah. “Angel dukane, gampang nyepurane”, kata Durrah, menantunya.
Kebersihan hatinya ditebar kepada siapa saja, semua orang merasa dicintai beliau. Bahkan kepada pencuri pun beliau memperlihatkan sayangnya. Beliau melarang santri memukuli pencuri yang tertangkap basah di rumahnya. Sebaliknya pencuri itu dibiarkan pulang dengan aman, bahkan beliau pesan kepada pencuri agar mampir lagi kalau ada waktu.
Sikap tawadlu’ sering beliau sampaikan dengan mengutip ajaran Imam Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam; “Pendamlah wujudmu di dalam bumi khumul (ketidakterkenalan)”. Artinya janganlah menonjolakan diri. Dan ini selalu dibuktikan dalam kehidupannya sehari-hari. Bila ada undangan suatu acara, beliau memilih duduk bersama orang-orang biasa, di belakang. Kalau ke masjid, dimana ada tempat kosong disitu beliau duduk, tidak mau duduk di barisan depan karena tidak mau melangkahi tubuh orang.
Kiai Hamid yang wafat pada tahun 1982 juga dikenal sebagai orang yang dermawan. Biasanya, kebanyakan orang kalau memberi pengemis dengan uang recehan Rp. 100,-. Tidak demikian dengan Kiai Hamid, beliau kalau memberi tidak melihat berapa uang yang dipegangnya, langsung diserahkan. Kalau tangannya kebetulan memegang uang lima ribuan, ya uang itu yang diserahkan kepada pengemis. Tak hanya bentuk uang, tapi juga barang. Dua kali setahun beliau selalu membagi sarung kepada masing-masing anggota keluarga.
Orang Alim
Biasanya orang yang terkenal dengan kewaliannya hanya dipandang dari kenyentrikannya saja. Tapi tidak demikian dengan Kiai Hamid, beliau dipandang orang bukan hanya dari kenylenehannya, tapi dari segi keilmuannya, beliau juga sangat dikagumi banyak kiai. Karena, memang sejak dari pesantren beliau sudah terkenal menguasai berbagai disiplin ilmu, mulai dari ilmu kanoragan, ketabiban, fiqih, sampai ilmu Arudl beliau sangat menguasai. Terbukti beliau juga menyusun syi’iran.
Karena kedalaman ilmunya itu, masyarakat meminta beliau menyediakan waktu untuk mengaji. Akhirnya beliau menyediakan waktu Ahad pagi selepas subuh. Adapun kitab yang dibaca kitab-kitab tasawwuf, mulai dari yang kecil seperti kitab Bidayatul Hidayah, Salalimul Fudlala’ dan kemudian dilanjutkan kitab Ihya’.
Didalam mendidik atau mengajar, Kiai Hamid mempunyai falsafah yang beranjak dari keyakinan tentang sunnatullah, hukum alam. Ketika ada seorang guru mengadu bahwa banyak murid-muridnya yang nilainya merah. Beliau lalu memberi nasehat dengan falsafah pohon kelapa. “Bunga Kelapa (manggar) kalau jadi kelapa semua yang tak kuat pohonnya atau buahnya jadi kecil-kecil” katanya menasehati sang guru. “Sudah menjadi sunnatullah,” katanya, bahwa pohon kelapa berbunga (manggar), kena angin rontok, tetapi tetap ada yang berbuah jadi cengkir. Kemudian rontok lagi. Yang tidak rontok jadi degan. Kemudian jadi kelapa. Kadang-kadang sudah jadi kelapa masih dimakan tupai.
Ijazah-ijazah
Seperti kebanyakan para kiai, Kiai Hamid banyak memberi ijazah (wirid) kepada siapa saja. Biasanya ijazah diberikan secaara langsung tapi juga pernah memberi ijazah melalui orang lain. Diantara ijazah beliau adalah:
1. Membaca Surat Al-Fatihah 100 kali tiap hari. Menurutnya, orang yang membaca ini bakal mendapatkan keajaiban-keajaiban yang terduga. Bacaan ini bisa dicicil setelah sholat Shubuh 30 kali, selepas shalat Dhuhur 25 kali, setelah Ashar 20 kali, setelah Maghrib 15 kali dan setelah Isya’ 10 kali.
2. Membaca Hasbunallah wa ni’mal wakil sebanyak 450 kali sehari semalam.
3. Membaca sholawat 1000 kali. Tetapi yang sering diamalkan Kiai Hamid adalah shalawat Nariyah dan Munjiyat.
4. Membaca kitab Dala’ilul Khairat. Kitab ini berisi kumpulan shalawat.(m.muslih albaroni)
0 komentar:
Posting Komentar