Jumat, 11 Desember 2009

Peran Komisi Yudisial dalam Penegakkan Hukum di Indonesia Yang Bersih

PERAN KOMISI YUDISIAL DALAM MEWUJUDKAN LEMBAGA PERADILAN YANG BERSIH DAN BERWIBAWA

Oleh : Soekotjo Soeparto
I. Pendahuluan.
Alasan utama bagi terwujudnya (raison d’atre) Komisi Yudisial di dalam
suatu negara hukum, adalah :
(1) Komisi Yudisial dibentuk agar dapat melakukan monitoring yang intensif
terhadap kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat
dalam spectrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara
internal,
(2) Komisi Yudisial menjadi perantara (mediator) atau penghubung antara
kekuasaan pemerintah (executive power) dan kekuasaan kehakiman (judicial
power) yang tujuan utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan
kehakiman dari pengaruh kekuasaan apapun juga khususnya kekuasaan
pemerintah,
(3) Dengan adanya Komisi Yuidisial, tingkat efisiensi dan efektivitas kekuasaan
kehakiman (judicial power) akan semakin tinggi dalam banyak hal, baik yang
menyangkut rekruitmen dan monitoring hakim agung maupun pengelolaan
keuangan kekuasaan kehakiman,
(4) Terjaganya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan
memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga
khusus (Komisi Yudisial), dan
(5) Dengan adanya Komisi Yudisial, kemandirian kekuasaan kehakiman (judicial
power) dapat terus terjaga, karena politisasi terhadap perekrutan hakim agung
dapat diminimalisasi dengan adanya Komisi Yudisial yang bukan merupakan
lembaga politik, sehingga diasumsikan tidak mempunyai kepentingan politik.

II. Wewenang dan Tugas
Pasal 24 B UUD 1945 yang menyatakan bahwa : “ Komisi Yudisial bersifat mandiri
yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim”.
Pasal 24 B UUD 1945 yang dijabarkan dalam Undang Undang No. 22 Tahun 2004
Pasal 13 yang pada pokoknya adalah :
a. Mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR;
b. Mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Pasal 13 huruf a dijabarkan dalam pasal 14 (1) :
a. melakukan pendaftaran calon hakim agung
b. melakukan seleksi terhadap calon hakim agung
c. menetapkan calon hakim agung
d. mengajukan calon hakim agung ke DPR.
Pasal 13 huruf b dijabarkan dalam pasal 20 dan pasal 22 (1) :
a. menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim;
b. meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan
perilaku hakim;
c. melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim;
d. memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etika perilaku hakim dan membuat LHP yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada MA dan/atau MK.
C. Peran Komisi Yudisial Dalam Mewujudkan Lembaga Peradilan Yang Bersih
dan Berwibawa.
Sebagai suatu sistem kinerja lembaga peradilan saat ini oleh sebagian orang
dianggap tidak bersih dan kurang berwibawa. Timbulnya pandangan yang demikian itu
disebabkan oleh banyaknya penyalah-gunaan wewenang di lembaga peradilan. Tentu saja
keadaan yang demikian itu akan menghambat reformasi lembaga peradilan yang hendak

III. Mewujudkan sistem peradilan yang ideal dan sesuai dengan harapan masyarakat yang pada akhirnya menimbulkan kesulitan bagi pencari keadilan untuk memperoleh keadilan.
Penyalah-gunaan wewenang di lembaga peradilan tersebut makin merusak seluruh sendi peradilan, dan mengakibatkan menurunnya kewibawaan serta kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap lembaga peradilan. Turunnya kewibawaan dan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap lembaga peradilan antara lain disebabkan oleh antara lain lemahnya integritas moral hakim dan pejabat lembaga
peradilan lain, putusan lembaga peradilan yang kontroversial, dan banyaknya putusan
yang bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.
Terungkapnya kasus-kasus penyalah-gunaan wewenang oleh hakim dan pejabat
peradilan yang dipublikasikan oleh berbagai media akhir-akhir ini merupakan cerminan
dari lemahnya integritas moral dan perilaku hakim, termasuk pejabat dan pegawai
lembaga peradilan. Keadaan ini tidak saja terjadi di lingkungan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, tetapi juga telah memasuki dan terjadi di lingkungan Mahkamah
Agung sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman yang tertinggi. Ternyata penerapan
one roof system sebagai salah satu upaya menciptakan independensi pengadilan dan
imparsial hakim melalui proses pemindahan kewenangan manajemen administrasi,
personalia, dan keuangan dari eksekutif (Menteri Hukum dan HAM) sebagai amanat
undang-undang pokok kekuasaan kehakiman belum dapat meningkatkan integritas moral
dan profesionalitas hakim.
Keadaan yang digambarkan di atas terjadi karena tidak efektifnya pengawasan
internal oleh lembaga peradilan. Berkaitan dengan itu, memang dibentuknya Komisi
Yudisial disebabkan oleh tidak efektifnya pengawasan internal (fungsional) tadi. Tidak efektifnya pengawasan internal itu disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain :
(1)Kualitas dan integritas pengawas yang tidak memadai,
(2)Proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan,
(3)Belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya (ketiadaan akses),
(4)Semangat membela sesama korps (esprit de corps) yang mengakibatkan penjatuhan
hukuman tidak seimbang dengan perbuatan. Setiap upaya untuk memperbaiki suatu
kondisi buruk pasti akan mendapat reaksi dari pihak yang selama ini mendapatkan
keuntungan dari kondisi yang buruk itu, dan
(5)Tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga peradilan tertinggi sampai dengan terendah untuk menindaklanjuti hasil pengawasan.

Sebagai lembaga tinggi negara yang lahir dari tuntutan reformasi hukum dan
bertugas untuk melakukan reformasi lembaga peradilan, tentu saja Komisi Yudisial tidak mungkin membiarkan terus berlangsungnya praktek penyalah-gunaan wewenang di
lembaga peradilan sebagaimana dikemukakan di atas. Oleh karena itu, Komisi Yudisial
perlu melakukan langkah-langkah pembaharuan yang berorientasi kepada terciptanya
lembaga peradilan yang sungguh-sungguh bersih dan berwibawa guna menjamin
masyarakat dan para pencari keadilan memperoleh keadilan dan diperlakukan secara adil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk mendukung langkah-langkah pembaharuan tersebut Komisi Yudisial telah
melakukan upaya penguatan ke dalam yaitu corporate building dan penguatan keluar
dalam bentuk kerjasama dengan lembaga-lembaga terkait yaitu pembangunan jaringan
untuk mendorong secara konstruktif agar lembaga peradilan mereformasi diri
sebagaimana tertuang dalam Cetak Biru Pembaharuan Mahkamah Agung RI. Langkahlangkah
yang dilakukan oleh Komisi Yudisial harus diartikan sebagai itikad baik dan
akselerasi reformasi lembaga peradilan agar terwujudnya lembaga peradilan yang
mandiri, tidak berpihak (netral), kompeten, transparan, menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kebenaran, serta berwibawa, yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan.
Perlu ditegaskan kembali bahwa ketentuan Pasal 24 B Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan landasan hukum yang kuat bagi
reformasi di bidang hukum, yakni dengan memberikan kewenangan kepada Komisi
Yudisial untuk mewujudkan checks and balances. Dalam arti, walaupun Komisi Yudisial
bukan pelaku kekuasaan kehakiman namun fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman. Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang secara hukum dan
konstitusional bertanggungjawab dan berwenang untuk menjaga dan memulihkan
kewibawaan dan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap lembaga
peradilan.
Sejalan dengan itu, Komisi Yudisial memang mempunyai peranan penting dalam
upaya mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung serta pengawasan terhadap hakim yang transparan dan partisipatif guna
menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Perlu
dikemukakan juga bahwa dalam upaya mendukung fungsi pengawasan dan untuk
mengatasi penyalahgunaan wewenang di lembaga peradilan, serta memulihkan
kewibawaan dan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional itu, maka Komisi
Yudisial berpendapat perlu dilakukan perubahan Undang Undang No. 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang
Undang (Perppu).
Hal ini dilakukan untuk memperkuat kewenangan Komisi Yudisial
dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim
sebagai salah satu cara untuk mereformasi lembaga peradilan agar lembaga peradilan
menjadi bersih dan berwibawa. Pendapat ini didasarkan pada argumentasi bahwa upaya
membersihkan dan memulihkan lembaga peradilan hanya mungkin dilakukan apabila
didukung oleh hakim-hakim yang bersih dan berwibawa. Budaya bersih diri dan bersih
lingkungan itu harus terus ditumbuh-kembangkan dan diwujudkan oleh para hakim dan
lembaga peradilan. Tentu saja pendapat yang demikian itu sejalan dengan semangat dan
tuntutan reformasi hukum yang menghendaki terciptanya lembaga peradilan yang ideal
dan sesuai dengan harapan masyarakat, terutama para pencari keadilan.
Dalam rangka mewujudkan lembaga peradilan yang bersih dan berwibawa itu Komisi Yudisial sebagai lembaga negara yang berwenang melaksanakan fungsi pengawasan terhadap hakim agung dan hakim pada badan peradilan di semua
lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah
Konstitusi adalah bersifat konsitusional. Wewenang pengawasan oleh Komisi Yudisial
itu meliputi pengawasan yang bersifat preventif sampai dengan pengawasan yang
bersifat represif sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 24 A ayat (3) dan Pasal 24 B ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
diimplementasikan dalam Pasal 13 hurup b, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23
Undang Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Fungsi pengawasan oleh
Komisi Yudisial Republik Indonesia tersebut, diperkuat juga oleh ketentuan Pasal 34 ayat (3) Undang Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan Pasal
34 ayat (3) ini menentukan bahwa :”Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran

IV. Martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi
Yudisial yang diatur dalam undang undang”.
Kewenangan Komisi Yudisial untuk melaksanakan fungsi pengawasan
sebagaimana dikemukakan di atas merupakan upaya untuk mengatasi berbagai bentuk
penyalah-gunaan wewenang di lembaga peradilan yang dimulai dengan mengawasi
perilaku hakim, agar para hakim menunjung tinggi kehormatan, keluhuran martabat,serta perilaku hakim. Oleh karena itu, apabila fungsi pengawasan oleh Komisi Yudisial itu berjalan efektif tentu dapat mendorong terbangunnya komitmen dan integritas para hakim untuk senantiasa menjalankan wewenang dan tugasnya sebagai pelaksana utama kekuasaan kehakiman sesuai dengan kode etik, code of conduct hakim dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di sinilah sesungguhnya letak peranan penting dari Komisi Yudisial dalam upaya mendukung penegakan hukum di Indonesia.
Pengawasan oleh Komisi Yudisial ini pada prinsipnya bertujuan agar hakim
agung dan hakim dalam menjalankan wewenang dan tugasnya sungguh-sungguh
didasarkan dan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, kebenaran,
dan rasa keadilan masyarakat serta menjunjung tinggi kode etik profesi hakim. Apabila hakim agung dan hakim menjalankan wewenang dan tugasnya dengan baik dan benar, berarti hakim yang bersangkutan telah menjunjung tinggi kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim. Keadaan yang demikian itu tentu tidak hanya mendukung terciptanya kepastian hukum dan keadilan, tetapi juga mendukung terwujudnya lembaga peradilan yang bersih dan berwibawa, sehingga supremasi hukum atau penegakan hukum-pun dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Sejalan dengan itu, sifat hakim yang dilambangkan dalam kartika, cakra, candra,
sari, dan tirta merupakan sifat-sifat yang harus ditumbuh-kembangkan dan diwujudkan
dalam tindakan dan perilaku hakim agar senantiasa berlandaskan pada prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, adil, bijaksana dan berwibawa, berbudi luhur, serta menjunjung tinggi kejujuran. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah landasan dari semua prinsip-prinsip dalam pedoman perilaku hakim. Ketaqwaan berarti percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan percayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa ini mampu mendorong hakim untuk berperilaku baik dan penuh tanggung jawab sesuai ajaran dan tuntunan agama dan kepercayaan yang dianutnya.
Eksistensi Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas hakim agung dan hakim,
serta dimasukkan dalam struktur kekuasaan kehakiman Indonesia adalah agar warga
masyarakat di luar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses
pengangkatan, penilaian kinerja, dan kemungkinan pemberhentian hakim sangatlah
penting. Hal ini maksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan
berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Dengan kehormatan dan keluhuran martabatnya itu kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bersifat imparsial (independent and impartial judiciary) diharapkan dapat diwujudkan, yang sekaligus diimbangi oleh
prinsip akuntabilitas kekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum maupun segi etika.
Untuk itu diperlukan suatu institusi pengawasan yang independen terhadap para hakim,
yang dibentuk di luar struktur Mahkamah Agung. Melalui institusi pengawas ini aspirasi masyarakat di luar struktur resmi dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan para hakim agung serta dilibatkan pula dalam proses penilaian terhadap etika kerja dan kemungkinan pemberhentian para hakim karena pelanggaran terhadap etika.
Komisi Yudisial dalam menjaga dan menegakkan kehormatan hakim, akan
memperhatikan apakah putusan yang dibuat sesuai dengan kehormatan hakim dan rasa
keadilan yang timbul dari masyarakat. Sedangkan dalam menjaga dan menegakkan
keluhuran martabat hakim Komisi Yudisial harus mengawasi apakah profesi hakim itu
telah dijalankan sesuai etika profesi dan memperoleh pengakuan masyarakat, serta
mengawasi dan menjaga agar para hakim tetap dalam hakekat kemanusiannya, berhati
nurani, sekaligus memelihara harga dirinya, dengan tidak melakukan perbuatan tercela.
Jadi jelaslah bahwa sejalan dengan pengawasan oleh Komisi Yudisial itu, hakim
dituntut untuk menjunjung tinggi kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman.
Kehormatan adalah kemulian atau nama baik yang senantiasa harus dijaga dan
dipertahankan dengan sebaik-baiknya oleh para Hakim dalam menjalankan fungsi
pengadilan. Kehormatan hakim itu terutama terlihat pada putusan yang dibuatnya, dan
pertimbangan yang melandasi, atau keseluruhan proses pengambilan keputusan yang
bukan saja berlandaskan peraturan perundang-undangan, tetapi juga rasa keadilan yang
timbul dari masyarakat. Sebagaimana halnya kehormatan, keluhuran martabat yang
merupakan tingkat harkat kemanusiaan atau harga diri yang mulia yang sepatutnya tidak hanya dimiliki, tetapi harus dijaga dan dipertahankan oleh Hakim melalui sikap tindak atau perilaku yang berbudi pekerti luhur. Hanya dengan sikap tindak atau perilaku yang berbudi pekerti luhur itulah kehormatan dan keluhuran martabat Hakim dapat dijaga dan ditegakkan. Sedangkan keluhuran menunjukkan bahwa profesi hakim adalah suatu kemuliaan, atau profesi hakim adalah suatu officium nobile. Bila suatu profesi terdiri dari beberapa aspek-aspek, yaitu:
(1) organisasi profesi yang solid,
(2) standar profesi,
(3) etika profesi,
(4) pengakuan masyarakat, dan
(5) latar belakang pendidikan formal, maka suatu profesi officium nobile terutama berlandaskan etika profesi dan pengakuan masyarakat.

Sedangkan martabat menunjukkan tingkat hakekat kemanusiaan, sekaligus harga diri.
Selain tidak menodai kehormatan dan keluhuran martabatnya, maka seorang
hakim harus menunjukkan perilaku berbudi pekerti luhur. Perilaku dapat diartikan
sebagai tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. Perilaku
hakim dapat menimbulkan kepercayaan, tetapi juga menyebabkan ketidak-percayaan
masyarakat kepada putusan pengadilan. Ketidak-puasan masyarakat terhadap putusan
pengadilan sebagian disebabkan oleh kenyataan bahwa putusan hakim sering dianggap
tidak adil, kontroversial, bahkan tidak dapat dieksekusi secara hukum. Keadaan ini
menuntut hakim harus sungguh-sungguh memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, jujur, adil, dan profesional dalam rangka membangun dan menumbuhkan
kepercayaan masyarakat dari masyarakat. Alat hukum yang terdapat dalam hukum acara
guna memperoleh keadilan dan kebenaran, dalam prakteknya telah disalah-gunakan
untuk menakuti-nakuti pihak lawan, khususnya mereka yang tidak memiliki waktu dan
uang untuk mengikuti proses litigasi yang panjang. Sungguh beralasan apabila kurangnya kepatuhan pada etika profesinyapun diarahkan kepada hakim. Jadi sangatlah beralasan apabila hakim harus mempunyai budi pekerti yang luhur dalam keseharian maupun dalam menjalankan tugas yudisialnya. Budi pekerti luhur ini adalah sikap dan perilaku yang didasarkan kepada kematangan jiwa yang diselaraskan dengan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat. Oleh karena itu, orang berbudi pekerti luhur dalam bertindak dan berperilaku menggunakan perasaan, pemikiran, dan dasar pertimbangan yang jelas, dalam arti ada dasar yang mengatur dan berdasarkan akal sehat. Ini berarti bahwa bukan hanya kehormatan dan keluhuran martabat itu yang harus dijaga dan ditegakkan, tetapi juga perilaku dari Hakim.
Setiap profesi termasuk hakim menggunakan sistem etika terutama untuk
menyediakan struktur yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan menyediakan
garis batas tata nilai yang dapat dijadikan pedoman para profesional untuk menyelesaikan dilema etika yang dihadapi saat menjalankan fungsi pengembanan profesinya sehari-hari.

Etika merupakan norma-norma yang dianut oleh kelompok, golongan atau masyarakat
tertentu mengenai perilaku yang baik dan buruk. Lebih dari itu, etika adalah refleksi kritis dan rasional mengenai norma-norma yang terwujud dalam perilaku hidup manusia, baik secara pribadi atau kelompok. Sistem etika bagi profesional dirumuskan secara konkret dalam suatu kode etik profesi yang secara harafiah berarti etika yang ditulis. Kode etik ibarat kompas yang memberikan atau menunjukkan arah bagi suatu profesi dan sekaligus menjamin mutu moral profesi itu dalam masyarakat.
Tujuan kode etik ini adalah menjunjung tinggi martabat profesi atau seperangkat kaedah perilaku sebagaipedoman yang harus dipatuhi dalam mengemban suatu profesi.
Kode etik profesi merupakan inti yang melekat pada suatu profesi, ia adalah kode
perilaku yang memuat nilai etika dan moral. Hakim dituntut untuk profesional dan
menjunjung etika profesi. Profesionalisme tanpa etika menjadikannya “bebas sayap”
(vluegel vrij) dalam arti tanpa kendali dan tanpa pengarahan. Sebaliknya, etika tanpa profesionalisme menjadikannya “lumpuh sayap” (vluegel lam) dalam arti tidak maju bahkan tidak tegak. Pelanggaran atas suatu kode etik profesi tidaklah terbatas sebagai masalah internal lembaga peradilan, tetapi juga merupakan masalah masyarakat. Dan pada kenyataannya kode etik profesi dan pengawasan internal kepada Hakim tidak mampu untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilakuHakim tersebut.

V. Penutup
Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang mandiri lahir dari tuntutan
reformasi dan untuk melakukan reformasi lembaga peradilan mempunyai fungsi untuk
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mengawasi hakim agung dan hakim pada
badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung
serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar
Negara Republik Tahun 1945. Pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial
mencakup pengawasan preventif sampai dengan pengawasan yang bersifat represif
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim.
Dengan eksistensi dan fungsi yang demikian itu, Komisi Yudisial memegang
peranan penting dan strategis dalam upaya mewujudkan lembaga peradilan yang bersih
dan berwibawa, sekaligus mereformasi lembaga peradilan dan mewujudkan lembaga
peradilan yang mandiri, tidak berpihak (netral), kompeten, transparan, menjunjung
tinggi nilai-nilai keadilan dan kebenaran, serta berwibawa, yang mampu menegakkan
wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan.

0 komentar: